Jika Tarif Ojol Naik, Transportasi Kota akan Mengalami Perubahan Besar
Kenaikan tarif ojek online berdampak luas pada perilaku mobilitas masyarakat, pendapatan driver, dan lanskap transportasi kota.

Kenaikan tarif ojek online yang diberlakukan awal bulan ini mulai menunjukkan dampak nyata di berbagai kota besar Indonesia. Di beberapa titik sibuk seperti Sudirman, Kuningan, dan Margonda, lalu lintas terlihat lebih padat dari biasanya, sebagian besar diisi kendaraan pribadi dan pengguna baru transportasi umum. Ojol tak lagi mendominasi jalan seperti sebelumnya.
Langkah pemerintah menaikkan tarif batas bawah dan atas untuk ojek online, yang bertujuan menyeimbangkan pendapatan pengemudi dan biaya operasional, telah memicu perubahan besar dalam pola transportasi masyarakat urban. Kini, ongkos sekali jalan yang sebelumnya bisa ditekan menjadi Rp8.000–Rp10.000, melonjak menjadi Rp13.000–Rp15.000 untuk jarak dekat. Kenaikan yang cukup signifikan ini mendorong banyak pengguna harian, terutama pekerja kantoran dan mahasiswa, untuk mulai beralih ke moda transportasi massal seperti MRT, TransJakarta, dan KRL.
Sementara itu, para pengemudi ojol menyambut kenaikan tarif ini dengan harapan baru. Di banyak pernyataan publik dan media sosial, mereka menyebut pendapatan per perjalanan menjadi lebih layak. Namun, tidak sedikit pula yang menyatakan jumlah order harian menurun sejak tarif baru berlaku. “Order saya memang lebih mahal sekarang, tapi jauh lebih sedikit. Kalau siang, bisa sampai satu jam nunggu,” ungkap Yayan, seorang pengemudi ojol di kawasan Tebet.
Aplikator layanan transportasi online juga mulai melakukan penyesuaian. Gojek dan Grab dikabarkan tengah mengevaluasi ulang skema insentif dan promosi yang sebelumnya banyak membantu mendorong penggunaan. Dalam beberapa pekan terakhir, diskon dan kode promo mulai berkurang drastis, terutama untuk perjalanan pendek.
Di sisi lain, sektor usaha mikro dan kecil yang bergantung pada layanan antar ojol juga ikut merasakan efeknya. Beberapa pelaku usaha makanan dan minuman rumahan mengaku harus menaikkan harga karena ongkos kirim melonjak. “Biasanya ongkir ke pelanggan Rp7.000, sekarang bisa Rp12.000. Kalau kami tanggung terus, margin habis,” kata Dini, pemilik usaha kue di Jakarta Selatan.
Pakar transportasi dari Universitas Indonesia, Dr. Aditya Kurniawan, mengatakan bahwa kondisi ini mencerminkan perlunya transformasi kebijakan transportasi yang lebih integratif. Ia menilai bahwa kenaikan tarif ojol memang tak terhindarkan demi menjaga kesejahteraan pengemudi, namun harus dibarengi dengan upaya meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas transportasi umum.
Situasi ini juga memunculkan kembali wacana regulasi ketat terhadap tarif dan insentif oleh aplikator agar tidak semata-mata ditentukan oleh pasar. Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan menyatakan akan terus memantau dinamika di lapangan dan mengevaluasi dampaknya secara berkala.
Kenaikan tarif ojol menjadi momentum besar yang mengubah wajah mobilitas perkotaan. Di tengah transisi ini, masyarakat pun dituntut lebih adaptif dalam mencari alternatif transportasi yang aman, terjangkau, dan berkelanjutan.